Gus Dur lahir sebagai Abdurrahman 'sang penakluk'



sahabatgusdur.blogspot.com ~ Anda boleh sepakat atau tidak dengan sosok Gus Dur yang fenomenal. Tapi yang jelas, sebagai bapak bangsa, dia memang dikenal langka, unik, dan dikagumi oleh banyak kalangan, baik dari dalam maupun luar negeri. Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang kontroversial lantaran pemikiran-pemikirannya. Oleh sebab itu, banyak yang bilang membicarakan Gus Dur , itu seperti tidak ada habisnya.

Membicarakan Gus Dur kurang enak kalau tidak mengawalinya dengan kisah masa kecilnya. Gus Dur adalah anak pertama pasangan Abdul Wahid Hasyim dan Solichah. Ayahnya merupakan Menteri Agama yang pertama pada kabinet Mohammad Natsir yang dibentuk pertama kali setelah lima tahun Indonesia merdeka.

Wahid Hasyim wafat di usia muda, 38 tahun, akibat kecelakaan mobil dalam perjalanan ke Cimahi pada 19 April 1953. Wahid Hasyim kini dikenang sebagai pahlawan nasional. Dia adalah anak dari Kiai Hasyim Asyari, kiai tersohor, salah satu pendiri organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU). Dengan demikian, Gus Dur adalah cucu dari Mbah Hasyim--demikian orang-orang nahdliyin memanggilnya.

Wahid Hasyim menikahi Solichah ketika berumur 29 tahun. Sementara istrinya, Solichah, waktu itu belum genap enam belas tahun. Seperti kebanyakan kisah pernikahan putra-putri kiai, Wahid Hasyim dan Solichah menikah karena perjodohan. Solichah kemudian melahirkan Gus Dur pada tahun pertama pernikahannya, pada Sabtu, 7 September 1940, tepat di ujung masa penjajahan Belanda.

Menurut Barton, penulis buku Biografi Abdurrahman Wahid, Gus Dur menggunakan nama Abdurrahman Wahid, dengan meletakkan nama ayahnya 'Wahid', setelah namanya sendiri. Sebagaimana banyak dilakukan kaum santri Jawa atau kaum muslim ortodoks di Indonesia (muslim abangan), nama ayah itu mempertegas bahwa Abdurrahman adalah putra Wahid. Padahal, sebenarnya nama kecil Gus Dur bukanlah itu.

Konon, karena Wahid Hasyim sangat girang, dipenuhi optimisme dengan kelahiran anak pertamanya. Atau barang kali karena kemampuan melihat masa depan, dia memberi nama yang berat untuk anak pertamanya itu, yakni Abdurrahman Ad-Dakhil. Nama Ad-Dakhil diambil dari nama seorang pahlawan dari dinasti Ummayyah, yang secara harfiah berarti "Sang Penakluk".

Setelah lahir, Abdurrahman Ad-Dakhil atau Gus Dur , kemudian tinggal bersama keluarganya di Jombang. Sebagai putra kiai, dia 'nyantri' atau belajar pendidikan agama di pondok pesantren Tebuireng, hingga usia 4 tahun. Pada umur lima tahun dia sudah lancar membaca Al-quran. Gurunya adalah kakeknya sendiri, Hasyim Asyari.

Gus Dur kecil tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Dia tidak tinggal bersama ayahnya, akan tetapi ikut bersama kakeknya. Semasa di rumah kakeknya itu Gus Dur kecil mulai mengenal dunia politik, dari orang-orang yang tiap hari sowan. Pada 1944, Gus Dur diajak ayahnya hijrah ke Jakarta. Dia tinggal berdua dengan ayahnya di Daerah Menteng, Jakarta Pusat.

Waktu itu, dengan berdiam di daerah Menteng, Wahid Hasyim dan anak pertamanya itu berada di pusat kegiatan. Misalnya ketika keduanya melaksanakan salat di masjid Matraman yang letaknya tak begitu jauh, keduanya secara teratur bisa bertemu dengan pemimpin nasional, Mohammad Hatta. Di masjid itu, semua orang juga bisa mudah bertemu dengan Wahid Hasyim.

Menurut ingatan Gus Dur , setiap jam setengah delapan malam, dia sering membukakan pintu untuk seorang laki-laki asing berpakaian petani warna hitam yang berkunjung ingin bertemu ayahnya. Atas permintaan tamunya itu, Gus Dur memanggilnya Paman Hussein. Baru beberapa tahun kemudian dia tahu, bahwa orang itu adalah Tan Malaka, pemimpin komunis terkenal.

Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda berkecamuk. Pada akhir perang 1949, Gus Dur pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai menteri agama. Dia belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.

Gus Dur juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Dia terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada 1952.

Pendidikan Gus Dur berlanjut, pada 1954 dia masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) yakni Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Jakarta. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas.

Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada Kiai Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak, sambil belajar di sekolah umum SMP. Pada 1957, setelah lulus dari SMP, dia pindah ke Magelang untuk memulai pendidikan muslim di Pesantren Tegalrejo.

Gus Dur mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada 1959, dia pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sambil belajar, dia juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah.

NB: Berbagai sumber via merdeka.com

0 Response to "Gus Dur lahir sebagai Abdurrahman 'sang penakluk'"

Posting Komentar